FAKTA GROUP – Julius Hoesan, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) meminta Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2011, yang melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi keluar negeri dievaluasi.
“Di Pulau Kalimantan, produksi rotan sega bisa mencapai ribuan ton setiap bulan, sementara industri mebel di Pulau Jawa hanya menyerap beberapa ratus ton per bulan,” kata Julius kepada Pontianak Post.
Kelebihan stok yang tidak dapat diserap oleh industri lokal menyebabkan petani dan pengepul rotan merasa frustrasi. “Permendag 35/2011 yang melarang ekspor rotan dari Indonesia secara keseluruhan membuat potensi rotan sega di Kalimantan menjadi sia-sia karena pasar domestik yang terbatas,” tambahnya.
Julius mengungkapkan bahwa situasi ini memaksa pemilik rotan untuk mencari pasar luar negeri. APRI telah lama mengajukan aspirasi dan keluhan kepada pemerintah mengenai masalah ini, namun tanggapan dari pemerintah tampaknya tidak memadai terhadap dampak negatif yang dialami oleh ekonomi daerah penghasil rotan.
Akibatnya, banyak pelaku usaha rotan yang mengalami kesulitan. “Kami mengungkapkan kesulitan anggota dan kerugian negara karena nilai komoditas rotan Indonesia semakin menurun. Usaha kami untuk meyakinkan pemerintah belum membuahkan hasil. Saat ini, jumlah industri pengolahan rotan anggota APRI menurun drastis dari 80 menjadi 10, dan dari 10 tersebut pun tidak semua aktif,” ungkap Julius.
Rudyzar Zaidar Mochtar, Ketua APRI Kalimantan dan Wakil Ketua APRI Pusat, juga menyampaikan keluhan serupa. Ia mengungkapkan bahwa permintaan rotan di dalam negeri sangat kecil dibandingkan dengan produksi di daerah penghasil. “Sisa rotan yang tidak terpakai sering kali diselundupkan karena jika tidak digunakan, rotan tersebut akan busuk,” ujarnya.
Rudyzar menganggap bahwa Permendag 35/2011 perlu direvisi. “Petani dilarang untuk mengekspor ke luar negeri, tetapi di pasar domestik, rotan mereka juga tidak terserap dengan baik. Industri rotan lokal tidak dapat beroperasi secara maksimal. Terbukti bahwa nilai ekspor furnitur rotan tidak menunjukkan perbaikan,” tambahnya.
Larangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi justru memberikan keuntungan bagi negara-negara pesaing. Rudyzar berharap ada solusi untuk aturan yang sudah berlaku selama 13 tahun ini. Banyak industri pengolahan bahan baku di daerah yang telah tutup, dan diperkirakan saat ini hanya sekitar 10% dari jumlah industri sebelum tahun 2011 yang masih beroperasi.
“Larangan ekspor bahan baku rotan ternyata tidak mendorong pertumbuhan industri mebel rotan di Pulau Jawa. Banyak yang beralih menggunakan rotan sintetis atau plastik,” katanya.
Rudyzar juga menyebutkan bahwa selama 13 tahun pelaksanaan larangan ini, volume rotan yang tumbuh di hutan semakin melimpah karena tidak dipanen secara reguler. “Kalau pun dipanen, jumlahnya terbatas. Nilai ekonomi rotan juga semakin menurun akibat larangan ekspor,” tambahnya.
Menurutnya, Permendag ini tampaknya tidak dibuat dengan kajian yang komprehensif. Selain itu, tidak ada evaluasi untuk memperbaiki dampak buruknya. Aturan ini dimaksudkan untuk mendukung hilirisasi industri mebel domestik, namun Kalimantan memiliki sekitar 30 jenis rotan, sedangkan industri mebel di Jawa hanya membutuhkan 3 jenis rotan.
“Hanya beberapa jenis rotan yang diminati oleh industri mebel, terutama rotan sega, sedangkan puluhan jenis lainnya tidak dibutuhkan. Namun, Permendag 35/2011 melarang ekspor semua jenis rotan. Ini sangat tidak masuk akal,” tegasnya.
Rudyzar berharap agar Permendag ini dicabut atau, setidaknya, direvisi agar lebih fleksibel. “Jika industri domestik hanya memerlukan beberapa jenis rotan, maka rotan jenis lainnya seharusnya diizinkan untuk diekspor. Perlu ada evaluasi terhadap Permendag ini karena banyak ketentuannya yang tidak relevan dan merugikan ekonomi daerah penghasil rotan,” pungkasnya. **